Jangan Kaget! Ini Alasan Mengapa CEO Terkadang Mengambil Keputusan yang Buruk
Kenapa CEO bisa ambil keputusan yang buruk? |
Labirin Ilmu - Kita sering melihat CEO atau pemimpin perusahaan sebagai sosok yang super jenius, visioner, dan selalu mengambil keputusan tepat. Pokoknya, apa pun yang mereka putuskan, pasti ujungnya cuan dan sukses. Ya, seperti superhero bisnis, lah.
{getToc} $title={Daftar Isi}
Tapi, pernah enggak sih kamu mikir,
"Kok keputusan bos kayak gini sih? Gak masuk akal!" atau "Lho,
kok perusahaan sebesar ini bisa salah langkah, ya?" Nah, di balik kemilau
kesuksesan, terkadang para nakhoda perusahaan ini juga bisa salah jalan dan mengambil
keputusan yang buruk.
Padahal, mereka punya data segunung, tim
ahli yang mumpuni, dan pengalaman bertahun-tahun. Jadi, mengapa CEO terkadang
mengambil keputusan yang buruk? Apakah mereka cuma lagi apes, atau ada faktor
lain yang tersembunyi? Yuk, kita bongkar tuntas misteri ini dengan santai!
Bukan Cuma 'Apes', Ini Faktor di Balik Keputusan Buruk CEO
Mengambil keputusan, apalagi di level
tertinggi perusahaan, itu enggak gampang. Ada banyak sekali faktor yang bisa
memengaruhi, dan kadang, bahkan CEO terbaik pun bisa tergelincir.
1. Tekanan yang Super Duper Besar
Bayangin jadi CEO. Kamu adalah penentu
arah kapal. Ribuan karyawan menggantungkan nasibnya padamu. Investor menuntut
keuntungan. Kompetitor terus mengintai. Pemerintah punya regulasi. Tekanannya
kayak dikejar debt collector pakai deadline secepat kilat!
- Tekanan Waktu (Deadlines): Seringkali, keputusan besar harus diambil dalam waktu singkat. Nggak ada waktu untuk analisis mendalam atau konsultasi berlarut-larut. Ini bisa memicu keputusan yang terburu-buru.
- Tekanan Stakeholder: Investor, dewan direksi, bahkan media punya ekspektasi masing-masing. CEO kadang merasa harus memenuhi semua ekspektasi ini, bahkan jika itu berarti mengorbankan strategi jangka panjang. Ibarat koki, semua orang di dapur teriak minta masakan beda, dan kamu harus masak semuanya cepat!
Contoh: Seorang CEO perusahaan teknologi
di bawah tekanan investor untuk terus inovasi. Dia memutuskan untuk
mengakuisisi startup yang sedang naik daun dengan harga fantastis, padahal due
diligence-nya kurang matang karena buru-buru. Hasilnya? Akuisisi itu malah
jadi beban karena budaya dan teknologi startup tersebut tidak cocok.
2. Bias Kognitif: Jebakan Pikiran Sendiri
Otak manusia itu unik, tapi juga punya
"jebakan" sendiri yang namanya bias kognitif. Ini adalah pola pikir
otomatis yang bisa membuat kita salah dalam memproses informasi atau membuat
penilaian. Bahkan CEO pun enggak luput dari ini!
- Confirmation Bias: Cenderung mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mengonfirmasi keyakinan atau hipotesis awal mereka. Jadi, kalau CEO sudah yakin A itu benar, dia akan lebih fokus pada data yang mendukung A, dan mengabaikan data yang menentang A.
- Sunk Cost Fallacy: Ini nih yang bikin rugi terus! Terlalu sulit untuk meninggalkan proyek atau investasi yang sudah menghabiskan banyak waktu, uang, atau tenaga, meskipun sebenarnya sudah jelas-jelas tidak berhasil. Rasanya kayak, "Udah rugi banyak, masa berhenti sekarang?" Padahal, harusnya dipotong kerugiannya.
- Overconfidence Bias: Terlalu percaya diri dengan kemampuan atau keputusan mereka sendiri, bahkan ketika bukti menunjukkan sebaliknya. "Ah, saya kan sudah berpengalaman, pasti keputusan ini benar!" Ini bisa bikin mereka melewatkan peringatan dini.
Contoh: Seorang CEO di industri ritel
menolak keras ide untuk beralih ke e-commerce meskipun data menunjukkan
tren yang jelas. Kenapa? Karena dia sangat percaya diri dengan model bisnis
toko fisik yang sudah terbukti sukses selama puluhan tahun (overconfidence bias
& confirmation bias). Perusahaan pun ketinggalan jauh dari kompetitor.
3. Kurangnya Informasi atau Informasi yang Tidak Akurat
Mengapa CEO terkadang mengambil
keputusan yang buruk? Karena mereka bukan peramal! Mereka bergantung pada
informasi.
- Data Kurang Lengkap: Terkadang, data yang sampai ke meja CEO tidak lengkap atau tidak mencerminkan gambaran utuh di lapangan.
- Filter Informasi (Silo Effect): Informasi bisa terfilter atau terdistorsi saat melewati berbagai departemen. Tim di bawah mungkin punya data krusial, tapi tidak sampai ke CEO karena "silo" antar-departemen atau karena bawahan takut menyampaikan kabar buruk.
Contoh: CEO memutuskan untuk berekspansi
ke pasar baru berdasarkan laporan riset pasar yang kurang mendalam. Ternyata,
dia tidak tahu kalau regulasi di pasar itu sangat ketat dan sudah ada pemain
lokal yang mendominasi. Proyek ekspansi pun gagal total.
4. Lingkungan Perusahaan yang Tidak Sehat
Bukan cuma CEO-nya yang salah, kadang
lingkungan di sekelilingnya juga bisa jadi penyebab.
- Budaya "Yes-Man": Tim dan bawahan selalu setuju dengan apa pun kata CEO, karena takut. Tidak ada yang berani memberikan kritik konstruktif atau pandangan berbeda. Ini bahaya banget, karena CEO jadi tidak punya sounding board yang jujur.
- Isolasi: Semakin tinggi jabatan, semakin "sendiri" posisinya. CEO bisa merasa terisolasi, kurang mendapatkan masukan dari berbagai sudut pandang, dan akhirnya mengandalkan insting pribadi yang belum tentu tepat.
Contoh: CEO perusahaan fashion
punya ide unik tapi berisiko tinggi. Karena budaya perusahaannya adalah
"bos selalu benar," tidak ada satu pun tim yang berani bilang kalau
ide itu berpotensi flop. Akhirnya, produk diluncurkan, tapi tidak laku di
pasaran.
5. Kelelahan dan Burnout
CEO itu juga manusia! Jadwal padat,
perjalanan bisnis, tekanan konstan, bisa menyebabkan kelelahan fisik dan mental
yang luar biasa.
- Penurunan Kognitif: Saat lelah, kemampuan otak untuk berpikir jernih, memecahkan masalah, dan membuat keputusan rasional akan menurun. Mirip kayak kita kalau kurang tidur, pasti gampang salah fokus atau salah ambil keputusan sepele.
- Emosi yang Tidak Stabil: Kelelahan bisa membuat seseorang lebih emosional dan reaktif, sehingga keputusan bisa diambil berdasarkan mood sesaat, bukan analisis.
Frequently Asked Questions (FAQ)
1. Apakah ini berarti CEO tidak kompeten?
Tidak sama sekali. Keputusan buruk tidak
selalu berarti CEO tidak kompeten. Ini menunjukkan bahwa mereka juga manusia,
rentan terhadap tekanan, bias, dan keterbatasan informasi. Pemimpin hebat
belajar dari kesalahan ini.
2. Bagaimana CEO bisa mengurangi risiko mengambil keputusan buruk?
Dengan membangun tim yang jujur dan
berani memberikan feedback (ingat artikel kita sebelumnya tentang cara
memberi feedback!), mencari second opinion, mengambil istirahat
yang cukup, dan sadar akan potensi bias kognitif diri sendiri. Mereka juga bisa
menggunakan framework pengambilan keputusan yang terstruktur.
3. Apa peran karyawan atau tim dalam membantu CEO?
Karyawan bisa membantu dengan
menyampaikan informasi yang akurat dan jujur, berani memberikan masukan
konstruktif (dengan etika yang baik!), dan berpartisipasi aktif dalam diskusi.
Lingkungan yang terbuka dan suportif adalah kunci.
Kesimpulan: CEO Juga Manusia, Punya Titik Lemah
Jadi, ketika kamu bertanya mengapa CEO
terkadang mengambil keputusan yang buruk, jawabannya kompleks. Bukan cuma soal
IQ atau pengalaman, tapi juga interaksi antara tekanan eksternal, cara kerja
otak, kualitas informasi, dan budaya perusahaan.
Memahami ini bisa membantu kita lebih
berempati pada posisi CEO, dan juga sebagai pelajaran berharga bagi siapa pun
yang berada di posisi kepemimpinan. Kesalahan itu wajar, yang penting adalah
bagaimana belajar dari kesalahan itu dan membangun sistem yang lebih baik agar
di masa depan, keputusan yang diambil bisa lebih tepat.